Rabu, 29 Desember 2010

Pantai Lombang

Pantai Lombang di Kecamatan Batang-Batang adalah salah satu objek wisata terbaik di Kabupaten Sumenep. keindahahannya telah terkenal ke luar negeri. Tak heran jika wisatawan mancanegara (wisman) banyak yang terpikat dengan keindahan pantai dan cemara udangnya.
hamparan pasir putih dihiasi pohon-pohon cemara, merupakan daya tarik yang sangat indah. Pantai ini berada ± 30 Km dari Kota Sumenep ke arah Utara. Jalan akses menuju lokasi sangat mudah, bisa menggunakan mobil atau sepeda motor. Untuk masuk ke lokasi pantai, akan dikenakan biaya karcis sebesar Rp 3.000,
Di area pantai juga terdapat banyak penjual makanan dan minuman. Salah satu jenis minuman yang dapat menghilangkan dahaga yaitu “Es Degan” yang masih muda dan baru. Adapun makanan yang dijual salah satunya adalah “Rujak Lontong” yang bikin para wisatawan tidak tahan untuk mencobanya.
Wisata ke Pantai Lombang bisa dijadikan sebuah alternatif untuk mengisi hari libur Anda, baik hari libur biasa atau hari libur Hari Raya. Dijamin Anda akan mendapatkan suasana yang berbeda karena keindahan dari Pantai Lombang, salah satu ciptaan Tuhan yang perlu kita syukuri dan kita jaga kelestarinnya.

Jembatan Suramadu

Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia. Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan terpanjang di Asia Tenggara ialah Bang Na Expressway di Thailand (54 km). Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).

Jembatan ini diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009[2]. Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah 4,5 triliun rupiah.
Pembuatan jembatan ini dilakukan dari tiga sisi, baik sisi Bangkalan maupun sisi Surabaya. Sementara itu, secara bersamaan juga dilakukan pembangunan bentang tengah yang terdiri dari main bridge dan approach bridge.
Jembatan Suramadu pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan ini menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan.
Jalan layang
Jalan layang atau Causeway dibangun untuk menghubungkan konstruksi jembatan dengan jalan darat melalui perairan dangkal di kedua sisi. Jalan layang ini terdiri dari 36 bentang sepanjang 1.458 meter pada sisi Surabaya dan 45 bentang sepanjang 1.818 meter pada sisi Madura.
Jalan layang ini menggunakan konstruksi penyangga PCI dengan panjang 40 meter tiap bentang yang disangga pondasi pipa baja berdiameter 60 cm.
Jembatan penghubung
Jembatan penghubung atau approach bridge menghubungkan jembatan utama dengan jalan layang. Jembatan terdiri dari dua bagian dengan panjang masing-masing 672 meter.
Jembatan ini menggunakan konstruksi penyangga beton kotak sepanjang 80 meter tiap bentang dengan 7 bentang tiap sisi yang ditopang pondasi penopang berdiameter 180 cm.
Jembatan utama
Jembatan utama atau main bridge terdiri dari tiga bagian yaitu dua bentang samping sepanjang 192 meter dan satu bentang utama sepanjang 434 meter.
Jembatan utama menggunakan konstruksi cable stayed yang ditopang oleh menara kembar setinggi 140 meter. Lantai jembatan menggunakan konstruksi komposit setebal 2,4 meter.
Untuk mengakomodasi pelayaran kapal laut yang melintasi Selat Madura, jembatan ini memberikan ruang bebas setinggi 35 meter dari permukaan laut. Pada bagian inilah yang menyebabkan pembangunannya menjadi sulit dan terhambat, dan juga menyebabkan biaya pembangunannya membengkak
http://www.suramadu.com/

Keraton Potre Koneng



Keraton Sumenep di Jawa Timur dikenal dengan sebutan “Potre Koneng” (Putri Kuning). Julukan ini muncul karena di bekas Keraton Sumenep pernah hidup seorang permaisuri keraton, Ratu Ayu Tirto Negoro, yang memiliki kulit kuning bersih yang berasal dari negeri Cina. Untuk menghormati sang permaisuri, atap Keraton Sumenep diberi warna kuning cerah.
Bangunan Keraton Sumenep didirikan pada paruh kedua abad ke-18 atas prakarsa Raja Sumenep, yaitu Penembahan Sumolo atau Tumenggung Arya Nata Kusuma. Keraton ini diarsiteki oleh seorang China bernama Liaw Piau Ngo. Melalui tangan Liaw Piau Ngo inilah lahir sebuah bangunan keraton yang unik, yang memadukan gaya arsitektur Eropa, China, dan Jawa. Keraton Sumenep terletak di pusat kota (dekat alun-alun) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Dengan mengunjungi keraton ini, wisatawan dapat melihat langsung hasil akuturasi budaya Jawa, Eropa, dan Cina yang membentuk bangunan Keraton Sumenep. Pada bangunan Keraton Sumenep, pengunjung dapat melihat nuansa keraton Jawa dengan pilar-pilar dan lekuk ornamennya yang bergaya Eropa serta rangkaian atap yang menyerupai kelenteng Cina.



Secara umum komposisi bangunan pada Keraton Sumenep tidak berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, misalnya sama-sama memiliki pendopo yang cukup luas untuk menerima tamu, ruang peristirahatan raja, serta lokasi pemandian untuk permaisuri dan putri-putri raja.
Sebelum memasuki keraton, pengunjung akan disambut gapura dengan nama “Labang Mesem”. Dalam bahasa Indonesia “labang” berarti pintu, dan “mesem” adalah senyum. Gapura ini melambangkan keramahan keraton terhadap para tamu yang berkunjung. Di sisi kanan keraton, terdapat “Kantor Koneng”, yaitu ruang kerja raja Sumenep, yang sekarang difungsikan sebagai museum. Ruangan ini berisi koleksi peralatan rumah tangga keraton. Di luar keraton, wisatawan juga dapat mengunjungi Masjid Jamik Sumenep yang usianya tak jauh berbeda dengan usia Keraton Sumenep.


Untuk menuju kota Kabupaten Sumenep wisatawan harus menyeberangi pantai utara Jawa melewati Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Pelabuhan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura dengan memanfaatkan jasa kapal feri. Lama perjalanan + setengah jam dengan biaya sekitar Rp. 2.000 (Februari 2008). Pelabuhan ini terletak di ujung barat pulau Madura, sedangkan letak Keraton Sumenep berada di ujung timur pulau yang berjarak + 90 km dari Pelabuhan Kamal. Perjalanan dari Pelabuhan Kamal ke kota Sumenep dapat ditempuh dengan bus maupun minibus dengan lama perjalanan sekitar 3 jam.

Wisatawan yang berkunjung ke Keraton Sumenep dapat memperoleh keterangan tambahan mengenai sejarah dan perkembangan keraton dari pengelola keraton yang bertindak sebagai guide. Jika memerlukan menginap, di sekitar museum terdapat penginapan berupa hotel.
Sangat mudah mencapai Keraton Sumenep, karena letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di pusat kota Sumenep. Demikian halnya untuk sampai ke pusat kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, pusat propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep merupakan gabungan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, setelah kita melakukan perjalanan menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian agar keesokan harinya Anda bisa menikmati kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek seperti Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya bisa menjadi jujukan wisata Anda

Senin, 27 Desember 2010

Pajjhar Lagghu


Pajjhar lagghu arena pon nyonara.
Bapa’  tane se tedung pon jhagha’a.
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capengnga,
A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.
Atatamen mabannya’ hasel bhumena.
Mama’mor  nagharana tor bangsana.


“Pajjhar Lagghu” (fajar pagi) adalah lagu yang menggambarkan kegiatan masyarakat pedesaan Madura di pagi hari. Ketika fajar tiba, para petani pergi ke sawah membawa cangkul dan topi (Ngala’ are’ ben landhu’ tor capengnga) untuk bertani  guna menghidupi keluarganya. Mereka bertani tidak hanya untuk memberi makan keluarga mereka tapi juga untuk kemakmuran negara dan bangsanya (Mama’morra nagharana ban bangsana.) Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama. Meskipun tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bercocok tanam. Kaum lelaki dewasa mencangkul di sawah. Anak-anak yang sudah dewasa dan cukup kuat untuk menggunakan cangkul tidak segan-segan membantu bapak mereka bercocok tanam di sawah dan di ladang. Bagi kaum perempuan, tugas mereka yang utama adalah memasak di dapur dan mengantarkan makanan tersebut ketika siang hari. Semua anggota keluarga memiliki peran dan mereka melaksanakan peran mereka dengan gotong royong. Tanpa gotong royong, pekerjaan mereka akan lama terselesaikan. (yy/http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/)

Pakaian Adat



Pakaian adat Madura untuk para pria sangat identik dengan motif garis horisontal yang biasanya berwarna merah-putih dan ikat kepala. Lebih terlihat gagah ketika membawa senjata tradisionalnya yang berupa clurit. Parang yang bentuknya melengkung. Untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan kebaya yang lebih simpel.

Musik Daul


Bagi  masyarakat madura musik daul sudah tidak asing lagi. Musik ini merupakan inovasi musik tong-tong. Namun, 5 tahun belakangan ini musik daul mengalami perkembangan yang sangat pesat di 3 kabupaten Madura. Yaitu, Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Sampai kini musik daul menjadi salah satu bagian dari khasanah kekayaan seni dan budaya masyarakat Madura.
http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2008/05/05/2774378p.jpg

Sejarah lahirnya musik ul-daul hingga kini belum diketahui. Namun, dari berbagai jenis musik daul yang ada, musik tradisional daul di wilayah Kabupaten Pamekasan memiliki ciri khas tersendiri. Sebab keberadaan musik daul di Pamekasan lebih dipicu karena adanya pemadaman listrik pada sekitar 1990-an lalu.
Pada saat Madura mengalami pemadaman listrik, kelompok musik daul yang berkembang hanya di Pamekasan, sedang di tiga kabupaten lain di Madura tidak ada. Bahkan jenis musik daul yang dikembangkan warga Pamekasan ketika itu dan hingga kini masih berlangsung ialah menggunakan kereta dorong, berbeda dengan jenis musik daul pada umumnya.
http://2.bp.blogspot.com

Dengan eksisnya keberadaan dan banyak komunitas ul-daul di Madura, menjadi bukti bahwa madura merupakan tanah yang kaya karya seni. kini, musik tersebut menjadi salah satu kesenian yang sering banyak ditampilkan dalam berbagai kegiatan. mulai, selamatan, khitanan, perkawinan, smapai kegiatan-kegiatan lainnya. Tak lain, komunitas ini bertujuan untuk melestarikan budaya tradisional (musik tong-tong)  serta memberikan hiburan dan menumbuhkan kecintaan pada Budaya Madura.

Pantai Selopeng


Berwisata, bisa menjadi alternatif menghilangkan penat dan jenuh. Selain itu juga bisa menghadirkan inspirasi bagi pikiran kita. Dengan melihat hamparan laut yang luas saja, pikiran kita jadi fresh. Tak jarang, seseorang bahkan rela merogoh kocek sampai jutaan rupiah untuk bisa menikmati suasana yang baru. Pulau Madura meskipun gaungnya tak senyaring Pulau Bali, namun juga menyajikan pesona alam yang tak kalah eksotis.
www.google.com

Salah satu eksotika pantai Madura adalah Pantai Slopeng . Pantai ini terletak dikawasan desa salopeng Kabupaten sumenep. Desa salopeng termasuk desa nelayan yang padat.  Pantai  yang menghadap langsung ke laut jawa  dan berpasir putih ini memanjang ke timur dari desa Selopeng sampai desa Semaan dan desa lain.  Selain dikenal dengan pasir putihnya, pantai ini juga masyhur dengan bukit pasirnya . Hampir setiap hari pantai ini dipadati oleh pengunjung, terutama di hari libur.
Add caption

Pantai Camplong

Pantai ini tepat untuk pecinta eksotisme, alam yang masih alami. bagi yang suka menikmati keindahan laut dan pantai, Pantai Camplong bisa dijadikan tujuan berwisata.
www.google.com
Berada di kawasan pesisir selatan kabupaten sampang. Lokasi wisata ini Diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur Soelarso, 22 Juli 1993, objek wisata ini diharapkan bisa mengangkat nama Kabupaten Sampang. Pantai masih asli, dihuni para nelayan. Laut tenang. Tidak terlalu dalam. Setiap hari libur, akhir pekan, pantai itu dipadati anak-anak dan remaja.
www.google.com

Selain keindahan pantainya, di kawasan wisata ini juga disediakan Hotel Wisata Camplong atau Camplong Beach Cottage. Tersedia 30 kamar: standar 10 kamar, superior 9, de luxe 8, suite 3.
Pas dijadikan sebagai tempat wisata keluarga.

Hanya saja ada beberapa catatan yang menjadi PR bagi pengelola Resort ini. Kolam renang dibiarkan rusak dan dipenuhi sampah, fasilitas umum seperti kamar mandi tak terawat dengan baik.

Tari Rondhing dan Tari Ghetak.

Di Pamekasan banyak jenis kesenian tradisional yang mulai berkembang. Seperti tari 'pecot, tari 'samper nyecceng' dan tari 'dhanggak', tari rondhing dan tari Ghetak. Tari 'pecot' merupakan salah satu jenis tari yang biasa ditampilkan pada acara pembukaan karapan sapi dan tari 'samper nyecceng' merupakan tari khas Madura yang biasanya ditampilkan pada acara karnaval, sedang tari 'dhanggak' merupakan tari-tarian yang berkembang di kalangan masyarat pesisir. Namun, dari berbagai jenis tari tersebut yang banyak diminati dan secara sosial budaya dinilai cocok dengan kondisi Kabupaten Pamekasan ialah tari 'rondhing' dan tari topeng 'gethak'.
www.eastjava.com


Tari 'rondhing' dan tari topeng 'gethak' merupakan dua jenis tari tradisional peninggalan budaya leluhur warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kedua jenis tarian ini juga dijadikan sebagai kesenian tradisional unggulan di Pamekasan. Disamping itu, kedua jenis tari ini juga sudah mendapatkan hak paten dari Menteri Hukum dan HAM sebagai jenis tari tradisional yang merupakan hasil kreasi warga Pamekasan. Tari rondhing ditarikan oleh lima orang. Pada tarian ini tergambar pola baris-berbaris ibarat sebuah pasukan. Oleh karena itu, tari rondhing juga disebut tari baris.
www.google.com


Rondhing ini kan berasal dari "rot" artinya mundur, dan "kot-konding" artinya bertolak pinggang. Jadi tari rondhing ini memang menggambarkan tarian sebuah pasukan bagaimana saat melakukan baris-berbaris.
Nilai filosofis yanng terkandung dalam kedua jenis tari ini, diangkat dari perjuangan masyarakat kota Pamekasan ketika melawan kompeni pada masa penjajahan Belanda dulu.
Sebagaimana tari 'rondhing', tari topeng 'gethak' juga mengandung nilai filosofis perjuangan warga Pamekasan saat berupaya memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dulu.
Namun meski memiliki nilai filosofis serupa, dalam gerakan tari topeng gethak mengandung makna mengumpulkan massa. Berbeda dengan tari rondhing yang bermakna mengerahkan pasukan. Selain itu, jumlah penari juga berbeda. Tari topeng 'gethak' dimainkan oleh satu hingga tiga orang penari, sedang tari rondhing lima orang penari.

Kamis, 23 Desember 2010

Kakek Nomer 1 Sepanjang Masa

Tandu’ Majang
Ngapote wa’ lajarra etangale
Semajang tantona la padha mole
Mon tangghu dari ambet dha jhalanna
Mase bannya’a ongghu le ollena
O… mon ajhelling odi’na oreng majanga
Abhantal omba’ sapo’ angen salanjhanga
Reng majang bannya’ ongghu bhabhajan
Kabhilang alako bhandha nyabana.

Seperti halnya yang tersurat dalam lagu nenek moyangku seorang pelaut, pada lagu tandu’ majang ini juga menceritakan tentang kegigihan pelaut madura yang tangguh dalam mengarungi samudra. Tandu’ Majang sendiri berarti pulang melaut, pada baris sair selanjutnya dikisahkan tentang kehidupan nelayan madura. Abhandha nyabana (mempertaruhkan nyawa) demi menghidupi keluarganya. Kehidupan melaut digambarkan sangat keras dan beresiko reng majang bennya’ ongghu bhabhajana (melaut itu sungguh banyak mara bahayanya). Sering kali melaut itu harus meninggalkan rumah sampai berhari-hari pun tak pernah kembali. Angin dan ombak yang menggila sudah jadi sahabat karib mereka. Ini tertuang dalam sair Abhantal ombha’ sapo’ angin angen salanjhanga (berselimut angin dan berbantalkan ombak selamanya).
Entahlah, rasanya setiap kali aku mendengar atau menyanyikan lagu ini ada sesuatu yang mengiris batinku. Sesuatu yang kurindukan, namun tak pernah bisa kuraih. Rindu itu tersimpan dalam palung hatiku, yang acap kali mencuat ke permukaan ketika aku mendengar deburan ombak dan melihat laut lepas. Rindu itu kemudian memunculkan siluet sosok pria gagah nan tampan, dialah kakekku. My Beluved Grandfather.
*****
Mata pencaharian masyarakat Sotabar kecamatan Pasean kabupaten Pamekasan adalah nelayan. Seperti nelayan pada umumnya, nelayan Pantai Sotabar pergi melaut selepas maghrib atau sekitar 6 sore dan kembali keesokan harinya pukul 9.00.
Malam itu dipenghujung 1965, 45 tahun silam. Tak ada yang menyangka bahwa pertemuan itu adalah pertemuan terahir nenekku, ayahku (yang sasat itu berusia 7 tahun) dan ke 4 adiknya, dengan kakekku. Malam bulan desember, malam angin muson barat daya, sekaligus malam terahir perjumpaan mereka.
Ba’da maghrib waktu itu. Sebeleum melaut, seperti biasa kakekku mengajak istri dan anak-anaknya shalat berjama’ah dibilik kecil gubuk berdinding bambu milik kakek. Usai shalat kakekku berpesan pada ayahku, untuk menjaga ibu dan ke empat adiknya yang masih kecil dan meneladani jiwa pemberani seperti Umar Bin Khattab. Diusia yang masih sangat muda, tentu saja ayahku tak sempat memikirkan signal ucapan perpisahan dalam nasehat kakek malam itu.
“Angin sedang kencang, cuaca pun rupanya lagi buruk. Apa tak sebaiknya tinggal saja dirumah? Tunggulah sampai angin bersahabat dulu”. Kata nenek pada kakek yang sedang merapikan gulungan jala, dengan nada khawatir.
“Kitalah yang seharusnya bersahabat dengan alam” ujar kakekku. Entah apa yang ada dipikiran kakek malam itu. Harapan untuk mendapatkan tangkapan yang banyak, mungkin itu yang bergelayut didalam pikirannya.
Selepas itu, nenek serta ayahku mengiringi perjalanan kakek dan ke 3 temannya menuju pantai dibelakang rumah kami. Hening. Hanya suara binatang malam dan deburan ombak memecah sunyi. Sesampai dibibir pantai, kakekku menyalakan mesin perahunya yang sederhana. Suara mesin perahu memecahkan atmosfir gelombang laut yang menerjang lambung perahu. Kembali, kakekku berpesan pada ayah. Pesan yang sama! Sembari menepuk-nepuk pundak ayah dan memberikan senyumnya yang indah.
Angin berhembus cukup kencang, teman kakekku memanfaatkannya untuk mengibarkan layar perahu. Layar pun terkembang, mendorong laju perahu lebih cepat yang kemudian menjauh dan ditelan gelap samudra. Diiringi lambaian tangan ayah dan nenekku.
********
Riuh dari desas desus warga kampung, bahwa semalam angin menggila. Bisa dipastikan nelayan yang mengembangkan layar tadi malam tak akan selamat. Rasa khawatir yang berkecamuk, membuat nenek dan ayahku segera berlari menuju bibir pantai untuk menyambut kedatangan kakek. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung kembali. Esoknya, seminggu, sebulan tak ada kabar berita. Nenekkku pun memiliki kebiasaan baru. Duduk dipasir bibir pantai menunggu suaminya datang. Menanyai setiap nelayan yang labuh, apakah ada kabar tentang kakekku. Bahkan jasadnya yang telah kaku sekalipun. Tetap, nihil! Selang setahun, akhirnya nenekku mulai bisa menerima takdir bahwa orang yang dinanti tak akan pernah kembali. Bersiap merenda hari dengan ke 5 arjuna kecilnya. The best singgle parent ever!
Pun begitu dengan ayahku, kesedihan yang menyandera ayah sepanjang hidup, menjadikannya sosok pendiam. Dan hanya bicara seperlunya saja. Kesedihan hanya tampak pada wajah ayahku ketika beliau usai shalat. Sering disepertiga malam, aku mendengar ayahku menangis tertahan memanggil nama ayahnya. Ayah yang wajahnya mungkin sampai saat ini hanya samar diingatan. Wajar sajar karena tak ada satupun barang peninggalan kakek selain kenangan. Bahkan foto hitam putih lusuh sekalipun!
Hatiku ngilu sekaligus bahagia membuncah setiap kali ayahku menceritakan tentang kakekku. Tak jarang mata ayah kemudian memerah saga dan sembab. Tapi kemudian ujung bibirnya terangkat mengenangkan bahwa ayahku memiliki ayah yang hebat, pelaut ulung! Lelaki yang setiap hari aku kami rindukan. Dialah kakekku, kakek nomer satu sepanjang masa!

Senin, 20 Desember 2010

Karapan Sapi

Karapan Sapi (bulls race) sangat ‘kental’ Madura. Karapan sapi sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perlombaan pacuan/balap sapi. Pada perlombaan ini, sapi menarik kereta kayu yang ditunggangi oleh joki untuk mengendalikan sepasang sapi tersebut. Jarak pacuan biasanya sekitar 100 meter dengan waktu kurang lebih 10 setik samapai 1 menit. Karapan sapi dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu saja. Yaitu pada bulan agustus dan september. Sebelum dilombakan, sapi-sapi ini diarak mengitari arena pacuan dengan diiringi tabuhan gamelan madura yang disebut musik saronen.

Bukan semua jenis sapi yang bisa ikut serta dalam karapan. Sapi pilihan dengan jenis dan warna Madura. Kriteria khusus, sehat dan kuat serta pejantan yang cukup tingginya. Pilihan bibit sapi karapan, perawatan khusus untuk menjaga bentuk tubuh dan stamina menjelang karapan. Menjaga mental (agar sapi tidak stress) dan fisik sapi menjadi syarat mutlak pra pertandingan
Sebelum masuk ke arena balapan, pasangan sapi muncul dengan penampilan yang khas. Pakaian kebesaran sapi karapan yang mempunyai ciri masing-masing daerah. Sebagai unjuk kreativitas sang pemilik sapi, perlengkapan yang bernilai mahal ini segera dilepas ketika sapi siap beradu. Bebat yang dipasang dikepala sapi ini juga membuat pesan spiritual. Ketika sapi memasuki arena balapan, seluruh hiasan ditubuhnya harus dilepas. Hingga tinggal bebat yang tersisa. Tak ada sapi karapan yang idak mengenakan bebat ini, ia juga membentuk benteng pecaya diri sapi.




Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan hanya sekedar sebuah pesta rakyat atau tradisi turun temurun yang dirayakan setiap tahun. Tapi, karapan sapi merupakan sebuah kebanggaan yang akan mengangkat derajat dan martabat seseorang.
Belum ada yang tahu persis sejarah asal mula karapan sapi ini. Namun, berdasarkan sumber lisan turun temurun diketahui bahwa karapan sapi pada mulanya dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau sapudi, Sumenep pada abad Ke-13. Tujuan awal karapan sapi adalah untuk membajak sawah dan mengolah tanah persawahan. Ternyata, metode karapan sapi untuk menggemburkan tanah tandus menjadi lahan subur pun berhasil.
Tentu saja masyarakat desa mengikuti jejak pangerannya setelah mengetahui bahwa metode tadi berhasil. Akhirnya tanah di pulau Sapudi yang tadinya gersang, menjadi lahan subur dan bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah.
Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”.
Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang). (yy/dari berbagai sumber)

Kamis, 16 Desember 2010

Carok, Celurit dan Pergeseran Nilai

Bacanya aja udah serem, apalagi liat atau bahkan mengalami sendiri? Hiiiy.. jadi, wajar saja kalo sebagian orang menganggap bahwa Madura itu menakutkan, kasar dan keras. Bahkan bagi sebagian warga Madura di negri rantau jadi minder menunjukkan bahwa sebenernya dirinya adalah the realmaduranese. Ini nih yang perlu dilurusin. Masih banyak hal-hal positif dari Madura dan budayanya yang mengusik saya untuk bikin postingan ini. Dan saya rasa, semua harus tau itu hehe *maksa ne.

“ango’an poteya tolang etembang poteya mata” artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura), oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan). Lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Pepatah madura ini yang mendukung eksistensi (cieeeehh) carok.
Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian.Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan). sebenarnya pertarungan antar laki-laki. Hanya saja senjata yang digunakan adalah celurit (senjata favorit pelaku carok).
Motivasi carok sendiri biasanya didasari atas ritus balas dendam terhadap orang yang telah melakukan pelecehan terhadap 3 TA (harTA, tahTA dan waniTA) seseorang. Apalagi kalo yang diusik itu seorang istri! Yah, proteksi berlebih terhadap wanita ini menjadikan carok kerap terjadi.
Namun, belakangan ini carok sudah mengalami distorsi makna dan pergeseran nilai. Dari cerita kakek, kakeknya kakek saya (bingung?) Carok pada zaman awal kemunculannya, dilakukan secara ngonggai (duel satu lawan satu). Tapi, semenjak tahun 1970-an carok lebih sering dilakukan secara nyelep (menikam dari belakang, ketika seseorang lengah). Makna carok yang pada awalnya menunjukkan kejantanan, malah bergeser menjadi egoisme dan arogansi.Sebab itu, madura di cap sebagai suku yang kasar, keras kepala, sok jagoan dan suka membunuh. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Padahal, tidak semua masyarakat madura seperti itu. Masyarakat madura merupakan masyarakat agamis yang memiliki sikapa halus, sopan santun dsb.

Carok dan celurit layaknya uang koin. Punya dua sisi yang gak bisa dipisah. Ada carok, pasti ada celurit. Senjata favorit yang digunakan saat carok ini berbentuk seperti bulan sabit. Senjata ini dijadikan sebagai sekep. Dari bentuk yang melengkung ini, membuat celurit akan menimbulkan efek yang parah pada bagian tubuh yang terkena sabetan. Seperti yang terjadi pada korban-korban carok yang terjadi. Korban carok terahir yang saya liat, pada pertengahan puasa tahun 2010 Desa bandungan Kecamatan Pakong Pamekasan (tanggal pastinya saya lupa, hehe). Bagian dada korban sampai perut lukanya menganga, bahkan isi perutnya sampai keluar. Hiiiyy,, maaf saya juga gak bisa ngasi foto korban. Ngeri!
Munculnya celurit sendiri di pulau Madura pada abad ke-18 M. Tokoh terkenal pada masa itu adalah Pak Sakerah. Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan, Pak Sakerah selalu membawa celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.
Pak Sakerah adalah sosok mandor yang jujur serta agamis. Disukai oleh para buruh. Singkat cerita, Pak Sakerah difitnah oleh bos-nya sendiri. Untuk melindungi harga dirinya, Pak Sakerah kemudian Membunuh bos dan kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah, Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.: “Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah epate’e, saebu sakerah tombu pole”(Guperman keparat, jangan bersenang-senang, saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak Sakerah (sosok yang berani melawan penjajahan, penindasan dan kesewenang-wenangan).Lama setelah Belanda meninggalkan Pualau garam ini, budaya carok masih lestari. Namun jauh dari nilai luhur perjuangan Pak Sakerah. Alih-alih menjaga harga diri, namun yang muncul malah sifat egois dan premanisme. Tentu saja egois, mereka tidak mau istrinya diganggu orang tapi justru mereka mengganggu istri orang. Dari kasus-kasus yang terjadi pun tak jarang penyebab carok adalah diusiknya kehormatan wanita.