Kamis, 16 Desember 2010

Carok, Celurit dan Pergeseran Nilai

Bacanya aja udah serem, apalagi liat atau bahkan mengalami sendiri? Hiiiy.. jadi, wajar saja kalo sebagian orang menganggap bahwa Madura itu menakutkan, kasar dan keras. Bahkan bagi sebagian warga Madura di negri rantau jadi minder menunjukkan bahwa sebenernya dirinya adalah the realmaduranese. Ini nih yang perlu dilurusin. Masih banyak hal-hal positif dari Madura dan budayanya yang mengusik saya untuk bikin postingan ini. Dan saya rasa, semua harus tau itu hehe *maksa ne.

“ango’an poteya tolang etembang poteya mata” artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura), oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan). Lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Pepatah madura ini yang mendukung eksistensi (cieeeehh) carok.
Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian.Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan). sebenarnya pertarungan antar laki-laki. Hanya saja senjata yang digunakan adalah celurit (senjata favorit pelaku carok).
Motivasi carok sendiri biasanya didasari atas ritus balas dendam terhadap orang yang telah melakukan pelecehan terhadap 3 TA (harTA, tahTA dan waniTA) seseorang. Apalagi kalo yang diusik itu seorang istri! Yah, proteksi berlebih terhadap wanita ini menjadikan carok kerap terjadi.
Namun, belakangan ini carok sudah mengalami distorsi makna dan pergeseran nilai. Dari cerita kakek, kakeknya kakek saya (bingung?) Carok pada zaman awal kemunculannya, dilakukan secara ngonggai (duel satu lawan satu). Tapi, semenjak tahun 1970-an carok lebih sering dilakukan secara nyelep (menikam dari belakang, ketika seseorang lengah). Makna carok yang pada awalnya menunjukkan kejantanan, malah bergeser menjadi egoisme dan arogansi.Sebab itu, madura di cap sebagai suku yang kasar, keras kepala, sok jagoan dan suka membunuh. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Padahal, tidak semua masyarakat madura seperti itu. Masyarakat madura merupakan masyarakat agamis yang memiliki sikapa halus, sopan santun dsb.

Carok dan celurit layaknya uang koin. Punya dua sisi yang gak bisa dipisah. Ada carok, pasti ada celurit. Senjata favorit yang digunakan saat carok ini berbentuk seperti bulan sabit. Senjata ini dijadikan sebagai sekep. Dari bentuk yang melengkung ini, membuat celurit akan menimbulkan efek yang parah pada bagian tubuh yang terkena sabetan. Seperti yang terjadi pada korban-korban carok yang terjadi. Korban carok terahir yang saya liat, pada pertengahan puasa tahun 2010 Desa bandungan Kecamatan Pakong Pamekasan (tanggal pastinya saya lupa, hehe). Bagian dada korban sampai perut lukanya menganga, bahkan isi perutnya sampai keluar. Hiiiyy,, maaf saya juga gak bisa ngasi foto korban. Ngeri!
Munculnya celurit sendiri di pulau Madura pada abad ke-18 M. Tokoh terkenal pada masa itu adalah Pak Sakerah. Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan, Pak Sakerah selalu membawa celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.
Pak Sakerah adalah sosok mandor yang jujur serta agamis. Disukai oleh para buruh. Singkat cerita, Pak Sakerah difitnah oleh bos-nya sendiri. Untuk melindungi harga dirinya, Pak Sakerah kemudian Membunuh bos dan kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah, Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.: “Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah epate’e, saebu sakerah tombu pole”(Guperman keparat, jangan bersenang-senang, saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak Sakerah (sosok yang berani melawan penjajahan, penindasan dan kesewenang-wenangan).Lama setelah Belanda meninggalkan Pualau garam ini, budaya carok masih lestari. Namun jauh dari nilai luhur perjuangan Pak Sakerah. Alih-alih menjaga harga diri, namun yang muncul malah sifat egois dan premanisme. Tentu saja egois, mereka tidak mau istrinya diganggu orang tapi justru mereka mengganggu istri orang. Dari kasus-kasus yang terjadi pun tak jarang penyebab carok adalah diusiknya kehormatan wanita.

0 komentar:

Posting Komentar