Tandu’ Majang
Ngapote wa’ lajarra etangale
Semajang tantona la padha mole
Mon tangghu dari ambet dha jhalanna
Mase bannya’a ongghu le ollena
O… mon ajhelling odi’na oreng majanga
Abhantal omba’ sapo’ angen salanjhanga
Reng majang bannya’ ongghu bhabhajan
Kabhilang alako bhandha nyabana.
Seperti halnya yang tersurat dalam lagu nenek moyangku seorang pelaut, pada lagu tandu’ majang ini juga menceritakan tentang kegigihan pelaut madura yang tangguh dalam mengarungi samudra. Tandu’ Majang sendiri berarti pulang melaut, pada baris sair selanjutnya dikisahkan tentang kehidupan nelayan madura. Abhandha nyabana (mempertaruhkan nyawa) demi menghidupi keluarganya. Kehidupan melaut digambarkan sangat keras dan beresiko reng majang bennya’ ongghu bhabhajana (melaut itu sungguh banyak mara bahayanya). Sering kali melaut itu harus meninggalkan rumah sampai berhari-hari pun tak pernah kembali. Angin dan ombak yang menggila sudah jadi sahabat karib mereka. Ini tertuang dalam sair Abhantal ombha’ sapo’ angin angen salanjhanga (berselimut angin dan berbantalkan ombak selamanya).
Entahlah, rasanya setiap kali aku mendengar atau menyanyikan lagu ini ada sesuatu yang mengiris batinku. Sesuatu yang kurindukan, namun tak pernah bisa kuraih. Rindu itu tersimpan dalam palung hatiku, yang acap kali mencuat ke permukaan ketika aku mendengar deburan ombak dan melihat laut lepas. Rindu itu kemudian memunculkan siluet sosok pria gagah nan tampan, dialah kakekku. My Beluved Grandfather.
*****
Mata pencaharian masyarakat Sotabar kecamatan Pasean kabupaten Pamekasan adalah nelayan. Seperti nelayan pada umumnya, nelayan Pantai Sotabar pergi melaut selepas maghrib atau sekitar 6 sore dan kembali keesokan harinya pukul 9.00.
Malam itu dipenghujung 1965, 45 tahun silam. Tak ada yang menyangka bahwa pertemuan itu adalah pertemuan terahir nenekku, ayahku (yang sasat itu berusia 7 tahun) dan ke 4 adiknya, dengan kakekku. Malam bulan desember, malam angin muson barat daya, sekaligus malam terahir perjumpaan mereka.
Ba’da maghrib waktu itu. Sebeleum melaut, seperti biasa kakekku mengajak istri dan anak-anaknya shalat berjama’ah dibilik kecil gubuk berdinding bambu milik kakek. Usai shalat kakekku berpesan pada ayahku, untuk menjaga ibu dan ke empat adiknya yang masih kecil dan meneladani jiwa pemberani seperti Umar Bin Khattab. Diusia yang masih sangat muda, tentu saja ayahku tak sempat memikirkan signal ucapan perpisahan dalam nasehat kakek malam itu.
“Angin sedang kencang, cuaca pun rupanya lagi buruk. Apa tak sebaiknya tinggal saja dirumah? Tunggulah sampai angin bersahabat dulu”. Kata nenek pada kakek yang sedang merapikan gulungan jala, dengan nada khawatir.
“Kitalah yang seharusnya bersahabat dengan alam” ujar kakekku. Entah apa yang ada dipikiran kakek malam itu. Harapan untuk mendapatkan tangkapan yang banyak, mungkin itu yang bergelayut didalam pikirannya.
Selepas itu, nenek serta ayahku mengiringi perjalanan kakek dan ke 3 temannya menuju pantai dibelakang rumah kami. Hening. Hanya suara binatang malam dan deburan ombak memecah sunyi. Sesampai dibibir pantai, kakekku menyalakan mesin perahunya yang sederhana. Suara mesin perahu memecahkan atmosfir gelombang laut yang menerjang lambung perahu. Kembali, kakekku berpesan pada ayah. Pesan yang sama! Sembari menepuk-nepuk pundak ayah dan memberikan senyumnya yang indah.
Angin berhembus cukup kencang, teman kakekku memanfaatkannya untuk mengibarkan layar perahu. Layar pun terkembang, mendorong laju perahu lebih cepat yang kemudian menjauh dan ditelan gelap samudra. Diiringi lambaian tangan ayah dan nenekku.
********
Riuh dari desas desus warga kampung, bahwa semalam angin menggila. Bisa dipastikan nelayan yang mengembangkan layar tadi malam tak akan selamat. Rasa khawatir yang berkecamuk, membuat nenek dan ayahku segera berlari menuju bibir pantai untuk menyambut kedatangan kakek. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung kembali. Esoknya, seminggu, sebulan tak ada kabar berita. Nenekkku pun memiliki kebiasaan baru. Duduk dipasir bibir pantai menunggu suaminya datang. Menanyai setiap nelayan yang labuh, apakah ada kabar tentang kakekku. Bahkan jasadnya yang telah kaku sekalipun. Tetap, nihil! Selang setahun, akhirnya nenekku mulai bisa menerima takdir bahwa orang yang dinanti tak akan pernah kembali. Bersiap merenda hari dengan ke 5 arjuna kecilnya. The best singgle parent ever!
Pun begitu dengan ayahku, kesedihan yang menyandera ayah sepanjang hidup, menjadikannya sosok pendiam. Dan hanya bicara seperlunya saja. Kesedihan hanya tampak pada wajah ayahku ketika beliau usai shalat. Sering disepertiga malam, aku mendengar ayahku menangis tertahan memanggil nama ayahnya. Ayah yang wajahnya mungkin sampai saat ini hanya samar diingatan. Wajar sajar karena tak ada satupun barang peninggalan kakek selain kenangan. Bahkan foto hitam putih lusuh sekalipun!
Hatiku ngilu sekaligus bahagia membuncah setiap kali ayahku menceritakan tentang kakekku. Tak jarang mata ayah kemudian memerah saga dan sembab. Tapi kemudian ujung bibirnya terangkat mengenangkan bahwa ayahku memiliki ayah yang hebat, pelaut ulung! Lelaki yang setiap hari aku kami rindukan. Dialah kakekku, kakek nomer satu sepanjang masa!
Labels
- aRsiTekTuR (1)
- CaRoK (2)
- KuLiNeR MaDuRa (1)
- meNgeNaL MaDuRa LeWaT LaGu (2)
- PeSoNa aLaM MaDuRa (4)
- SeNi dan BuDaya (4)
Mengenai Saya
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
Kamis, 23 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
tulisan yang menyentuh. paduan tulisan pas dengan syair lagu itu. kebetulan itu lagu favoritku sejak masa kanak2. Good writing
makasie pak..
Posting Komentar